Tahun
2014 Bangsa Indonesia tidak lama lagi akan menghadapi suatu peristiwa politik
yang sangat penting dalam proses rekrutmen pimpinan nasional, yang di masa lalu
dikenal sebagai pesta demokrasi.
Pemilihan
Umum (Pemilu) 2014 yang mencakup pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah
jalan masuk untuk melahirkan elit-elit politik yang tentu saja diharapkan
berasal dari kalangan masyarakat yang punya integritas sangat tinggi. Mereka yang
akan terpilih adalah tokoh-tokoh yang akan menentukan jalannya sejarah politik
sosial ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan serta masa yang akan datang.
Apa
yang harus dipersiapkan untuk menghasilkan para elit politik yang menjunjung
etika dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai
yang berketuhanan, berkemanusiaan, menjunjung persatuan, mengutamakan hikmat
kebijaksanaan dan berkeadilan sosial tersebut
Ada
tiga faktor penentu dalam upaya menghasilkan para elit politik yang
berkarakter. Yang paling penting adalah sejauh mana kesanggupan para pemilih
Indonesia jeli menentukan pilihannya pada sosok yang berkarakter tersebut. Yang
kedua adalah Partai Politik, yang menawarkan para elit politik mereka dalam
persaingan menuju Pemilu 2014 itu. Yang ketiga adalah media massa, dan untuk
era digital sekarang ini ditambah lagi yakni media sosial.
Poin
pertama, yang menyangkut kesanggupan pemilih menentukan pilihannya dalam
menghasilkan elit yang berintegritas tinggi sangatlah vital. Kesanggupan
semacam ini bisa diharapkan dengan mudah untuk lingkungan masyarakat terdidik.
Mereka punya akses informasi yang lebih luas sehingga mereka dapat melihat
rekam jejak para calon elit politik yang akan berlaga dalam Pemilu 2004.
Dengan
berbagai media massa dan sumber informasi yang tersedia, pemilih dapat memilih
dan memilah mana calon elit politik yang berkarakter dan yang mencitrakan diri
sebagai calon berkarakter padahal dalam diri sejatinya tak lebih dari politisi
yang transaksional belaka. Maksudnya, mereka berkompetisi dalam pemilu 2014 tak
lebih untuk meraih kekuasaan semata, untuk melanggengkan posisi mereka dalam
lingkungan elit yang mereka nikmatidi masa yang akan datang.
Oleh
sebab itu, salah satu strategi untuk mengelak dari terkecoh adalah menelusuri
rekam jejak perjalanan karir elit
bersangkutan. Pemilih yang melek informasi akan terhindar dari elit yang
berlomba mengeluarkan dana besar menjelang persaingan dalam Pemilu 2014. Dengan
demikian, untuk menentukan elit politik yang berintegritas tinggi tidak cukup
hanya membaca atau mengakses informasi terkini tentang apa sepak terjang elit
bersangkutan menjelang Pemilu 2014.
Bagi
pemilih yang belum sanggup mengakses informasi tentang rekam jejak elit yang
bersaing dalam Pemilu 2014, situasinya mungkin agak merepotkan. Mereka biasanya
dari kalangan bukan terpelajar, baik yang tinggal di perkotaan maupun
perdesaan. Dalam kondisi yang demikian, pendidikan politik sangatlah
diperlukan. Masalahnya, pendidikan politik menjelang pemilu sering berkelit dan
dengan aktivitas kampanye tersembunyi. Memang yang ideal adalah pendidikan
politik jangka panjang, yang dilakukan lembaga pendidikan dan kalangan
independen yang jauh dari momentum pemilu.
Faktor
penentu kedua dalam penentu lahirnya elit berintegritas tinggi adalah institusi
partai politik. Ada indikasi positif saat ini bahwa berbagai partai politik
melakukan rekruitmen elitnya melalui iklan di media massa. Sekalipun tak ada
jaminan bahwa strategi ini menghasilkan elit yang diidealkan, setidaknya ada
keterbukaan untuk menerima para kandidat lewat mekanisme yang transparan. Hanya
setelah melihat hasil Pemilu 2014 lah strategi seperti ini bisa dibuktikan
keampuhannya dalam menghasilkan elit yang selektif dan sesuai dengan harapan
pemilih. Partai politik sebagai lembaga yang menyediakan figur-figur politiknya
dalam Pemilu 2014 punya andil besar dalam mempersiapkan bangsa yang dipimpin
oleh elit berkarakter pasca-Pemilu 2014.
Faktor
ketiga penentu lahirnya elite berintegritas tinggai lewat Pemilu 2014 adalah
media massa dan media sosial. Yang perlu diwaspadai pada media massa setiap
menjelang pemilu adalah hegemoni kekuatan ekonomi dalam persaingan politik.
Media massa baik cetak maupun elektronik tentulah akan diwarnai oleh
pesan-pesan sponsor, baik yang dikemas dalam iklan politik maupun pesan politik
terselubung.
Fenomena
iklan politik saat ini tak perlu dicemaskan karena ada penangkalnya berupa
tayang bincang para pengamat, pakar dan praktisi politik yang bisa dijadikan
wahana pendidikan politik bagi para pemilih. Pada titik inilah media massa
diharapkan mengadirkan acara tayang bincang dengan narasumber yang berimbang
sehingga melahirkan informasi yang seimbang pula bagi para pemirsanya.
Peran
media sosial juga akan semakin signifikan karena penggalangan dukungan lewat
media ini terbukti memperlihatkan sukses besar untuk para politisi yang selama
ini berkompetisi lewat pilkada di Tanah Air maupun pemilihan presiden di
mancanegara.
Dan media sosial saat ini dapat dijadikan
kekuatan alternatif yang dapat mengimbangi pemberitaan media massa yang tidak
independen. Sosial media sebagai wujud peran aktif masyarakat dalam arus
informasi yang penggunanya terus meningkat menjadi secercah harapan ditengah
arus besar perang media yang tidak mencerahkan. Masyarakat takkanlagi dengan
mudah ditipu dan dibodohi dengan pemberitaan yang bombastis dari media-media
besar karena telah mempunyai media penyeimbang sebagai filter informasi. Sosial
media memberikan kesempatan yang sama kepada siapapun untuk membagi serta
mendapatkan berita atas sebuah fenomena yang sedang terjadi. Setiap orang bisa
mengutarakan pendapat, berdebat hingga memberikan informasi yang benar kepada
sesama. Dari aspek jangkauan pesan yang tersampaikan pun, media sosial
memperlancar apapun format hubungan yang dibangun, selain tentunya, bagaimana
komunikasi diproduksi, direproduksi, dimediasi, dan diterima.
Kekuatan sosial media telah terbukti
kesaktiannya. Sosial media kemudian menjelma menjadi salah satu instrumen
kontrol terhadap pemerintahan yang berkuasa, dengan menggunakan fasilitas internet
tentunya. Masih hangat dalam pikiran kita bagaimana dukungan masyarakat kepada
KPK dalam kasus Cicak vs Buaya jilid I dan II yang kemudian berakhir bahagia
karena dukungan masyarakat yang dikumpulkan melalui sosial media berbasis
jejaring, yaitu Facebook dan Twitter. Dukungan
publik untuk Prita Mulyasari juga digalang melalui sosial media. Yang paling
anyar adalah berita tentang Tasripin di Twitter yang berhasil
menyita perhatian publik hingga Presiden SBY memberikan bantuan untuknya.
Kembali sosial media memiliki peranan besar.
Melalui sosial media, sikap politik anak muda
sesungguhnya bisa terbentuk. Sosial media bisa dijadikan sebagai sarana
pembelajaran politik menjelang pemilu 2014. Sifat sosial media yang independen,
bebas dan tanpa batas, memungkinkan anak muda dapat berinteraksi langsung dalam
fenomena politik yang sedang terjadi. “celotehan” anak muda disosial media
sebetulnya terus dipantau oleh elit negara serta dijadikan bahan rujukan dalam
mengambil sikap politik. Kampanye secara massif dan terus menerus di jejaring
sosial juga akan berdampak perilaku pemilih pada pemilu mendatang. Anak muda
tentunya bisa langsung berinteraksi dengan celeg ataupun calon presiden yang
sedang mereka bidik. Tentunya interaksi tersebut bisa berupa pendapat, saran
atau bahkan kritikan tajam.
Kita semua berharap, pemilu 2014 akan melahirkan
pemimpin yang berintegritas tinggi serta amanah. Partisipasi anak muda tentu
saja diharapkan kehadirannya. Media massa didambakan menjadi sarana pelepas
dahaga informasi public, tentunya dengan berita yang jujur, fair dan
bebas kepentingan. Namun, bila media konvensional masih belum bisa dipercaya,
ada baiknya kita menggunakan sosial media sebagai kekuatan penyalur informasi
alternatif untuk memberikan pendidikan politik bagi anak muda menjelang pemilu
2014. Tampaknya, ketiga faktor itulah yang akan ikut
mewarnai jalannya persaingan politik tingkat nasional yang berlangsung tahun
depan. Gegap gempita di saat itu, yang kan menyerap anggaran negara yang cukup
besar diharapkan memberikan hasil yang sebanding, yakni tampilnya para elit
dengan karakter yang beretika.
Kenyataan
pada saat ini partai politik benar-benar mempromosikan para calonnya yang akan
maju di Pemilu 2014 dengan menggunakan media massa ataupun media sosial. Di
karenakan para calon legislatif mengetahui dan mengincar para pemilih ataupun
pemilih pemula yang ada di Indonesia dan lebih banyak mengakses internet
daripada dengan memasang atribut spanduk yang ada di sepanjang jalan. Akan
tetapi kenyataannya KPU belum menerbitkan peraturan tentang tata cara kampanye di media sosial
melainkan Kpu menerbitkan tentang Peraturan KPU Nomor I Tahun 2013 dan
Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 2012 tentang Pemilu hanyalah kampanye di tempat
umum dan kampanye di media massa.
Dan
solusi tentang kampanye di media sosial, Pemerintah melalui KPU Pusat harus menerbitkan peraturan tentang
tata cara berkampanye di media sosial di karenakan para elit politik mencari
dukungan lewat media tersebut. Akan tetapi jika KPU tidak menerbitkan peraturan
maka para elit politik bisa memanfaatkan kampanye di media sosial tersebut
sebagai kampanye terselubung dan akan makin banyak elit politik yang akan
memainkan peran yang hampir dengan para pesaingnya.
Sumber